Aceh, terletak di ujung pulau Sumatera. Siapa yang
tidak mengenal dengan daerah ini, di sinilah banyak terlahir para
pahlawan-pahlawan wanita yang kekuatannya sama dengan para pahlawan pria. Para pejuang
Aceh, pembela tanah air yang tanpa mempedulikan diri mereka. Negeri rencong
tumpah darahnya.
Begitupun banyak wanita-wanita perkasa yang
memperjuangkan Aceh di masa lampau. Beberapa periode, Kerajaan Aceh Besar yang
berdaulat pernah dipimpin oleh perempuan ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu
Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu
Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan pertempuran ada Laksamana Malahayti,
Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang
menjadi uleebalang (penguasa lokal). Diantara panglima-panglima tersebut, yang
banyak disebut-sebut oleh pendatang Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini
peneliti barat disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan
Katharina II Kaisar Rusia.
1. Ratu
Nahrasiyah
Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang
demikian indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam
yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara.
Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang
raja perempuan bernama Nahrasiyah. Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar,
terbukti dari hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan
Zain al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang
memerintah lebih dari 20 tahun. Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan
mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan.
Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan – dimana disisi depan mata uang
tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”.
Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan
Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini
mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching
kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian
mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah
cap kerajaan dan pakaian kerajaan. Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan
armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudera. Diceritakan, Sekandar,
kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho.
Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia
ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang
dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.
2.
Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)
Bersyukur bahwa catatan tentang Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak
sehingga dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh
Darussalam merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat. Syafiatuddin Syah yang
lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh
menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia
dinikahkan oleh ayahnya dengan Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa
ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan
Iskandar Muda meninggal. Menantunya lalu diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima
tahun memerintah, ia meninggal (15 Ferbruari 1642) tanpa memberikan keturunan.
Tiga hari setelah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat sang
permaisuri menjadi raja. Namun, menjelang penobatannya, muncul pertentangan. Ada
dua alasan. Pertama Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan kedua, soal
kelayakan perempuan menjadi raja. Persoalan tersebut diserahkan kepada ulama
senior yang sangat berpengaruh saat itu, yaitu Tengku Abdurrauf dari Singkil.
Ia menyarankan pemisahan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Dari sudut
adat dan hukum Islam, Syafiatuddin memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu,
Syafiatuddin memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup. Para ulama juga
mengeluarkan fatwa, bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan sepanjang
keduanya tidak saling bertentangan.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah
masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan
adanya perseteruan VOC dengan Potugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak
bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama. Sultanah
sangat memperhatikan pengendalian pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan
perekonomian. Namun, agak mengabaikan soal kemeliteran. Pada tahun 1668,
misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri Siam untuk menyebarkan agama
Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat mendorong para ulama dan cerdik
pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mensponsori penulisan buku-buku
ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dalam ekonomi, ia menerbitkan mata uang emas
dan menerapkan cukai bagi pedagang asing yang berdagang di Aceh. Dalam urusan
kenegaraan, ia membentuk dua lembaga pemerintahan, yaitu Balai Laksamana
(Angkatan Perang yang dikepalai oleh seorang Laksamana) dan Balai Fardah
(Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan seperti pemugutan cukai dan
mengeluarkan mata uang).
Selain itu, Sultanah membentuk lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balai
Rungsari (institusi yang terdiri empat uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng
(beranggotakan 22 ulama besar Aceh), Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR
yang beranggotakan 73 orang yang mewakili daerah pemukiman). Yang menarik
adalah, diantara 73 anggota dewan tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah
seorang raja besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh
negara asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23
Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiatuddin Syah tetap dihormati dengan
mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan. Selanjutnya,
kerajaan diperintah oleh Naqiatuddin dengan gelar Sri Sultan Nurul-Alam
Naqiatuddin Syah.
3. Ratu
Inayat Zakiatuddin Syah
Naqiatuddin Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah.
Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu
sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya
lantang. Pada masa pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang
hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan
dagangnya. Ratu menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi
tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari
benteng yang dipersenjatai itu. Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari
Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja
Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Dari utusan tersebut Ratu menerima
sejumlah hadiah. Sekembali ke Mekkah, utusan melaporkan kepada Raja Syarif
betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat
memeluk Islam. Sama halnya dengan dua ratu sebelumnya, Zakiatuddin Syah
mengeluarkan mata uang sendiri. Ratu meninggal 3 Oktober 1688 lalu digantikan
oleh Kamalat Zainatuddin Syah.
4.
Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan
funamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah
melukakan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta
Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe).
Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar
birokrasi tersentralisasi dengan – menyerahkan urusan pemerintahan dalam
kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak
berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri. Untuk situasi sekarang, sistim
pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga
menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda.
Hal lain yang dilakuakan oleh Sultanah adalah mengeluarkan mata uang emas. Masa
pemerintahannya yang singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang
dicapainya. Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya
Baiturrahman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.
5. Ratu
Kamalat Zainatuddin Syah
Silsilah ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal
usulnya. Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan
lain pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu
Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua
pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum
pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi
raja adalah Panglima Sagi. Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang
baru dan pernah menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat
Syah tidak dapat lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari
Qadhi Malikul Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan
bahwa kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun
tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan
kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian
Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang emas
6.
Laksamana Malahayati atau “Keumalahayati”
Wanita Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah
barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana
(Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak muncul
dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri. Malahayati menjadi
Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al
Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam
militer dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ia berasal
dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari
garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan
Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri
putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh
Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari
kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada
Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita
tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya.
Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong
masih ada di Teluk Kreung Raya.
John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda kapal Belanda yang
mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi laksamana, melaporkan,
Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100
buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika
itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada
laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan
di berbagai tempat kekuasaan Aceh. Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika
terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni
1599, dua kapal Belanda yang dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan
Federick de Houtman berlabuh dengan tenang di Aceh. Karena mendapat hasutan
dari Portugis, Laksamana Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam
penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh.
Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan Aceh.
Sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda – sekaligus
menunjukkan kewibawaan Laksamana Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam
menjatuhkan hukuman denda kepada van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus
dibayarkan kepada Aceh.
Uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda
tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh
menggunakan dua kapal menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatan
lada lalu pergi meninggalkan Aceh. Peristiwa penting lainnya selama Malahayati
menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu
Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan
duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda.
Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah
angkatan perang ketika itu diakui oleh negara Eropa, Arab, China dan India.
Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI, KRI Malahayati.
7. Cut
Nyak Dien
Nama Cut Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar
meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup
atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan
dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan
marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak
menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu
selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa
menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang
menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak
uleebalang, ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848.
Ayahnya, Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan
bangsawan. Sebagai lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan
pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang
rumahtangga. Setelah dewasa, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari
pernikahannya itu, ia memperoleh seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya
apa yang dilakukan oleh suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien
aktif di garis depan. Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya.
Karena Belanda lebih unggul soal persenjataan dan pengkhianatan yang
dilakukan oleh orang Aceh sendiri, lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin
banyak jatuh ke tangan Belanda – termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien dan keluarganya terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878,
Teuku Ibrahim dan pengikutnya gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi
janda muda, namun tetap cantik. Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin
membara. Lalu terucaplah janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian
suaminya, akan diterimanya sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya
menebus kematian suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku
Umar. Bersama Cut Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan
Belanda. Cut Nyak Dien dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari
pernikahannya dengan Teuku Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut
Gambang. Kemudian anaknya dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku
Cik Di Tiro. Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut
Nyak Dien kembali menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri.
“… selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci
melawan kafir ini kuteruskan …” bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal
suaminya. Ia memimpin peperangan dari persembunyianya di gunung-gunung.
Kehidupan Cut Nyak Dien amat sengsara. Ia tidak memiliki apa–apa lagi
kecuali semangat pantang menyerah. Ia pun ditinggalkan banyak pengikutnya.
Mungkin karena tidak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali,
selaku panglimanya mulai berpikir menyerah sebagai jalan membebaskan Cut Nyak
Dien dari penderitaan. “Takluk kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah
Subhanahu Watala menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku,” ujar Cut
Nyak Dien. Namun, Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan
pemimpinnya. Pang Laot Ali membuat perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak
menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak
Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua
tangannya dengan kesepuluh jarinya dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata
“Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku
diserahkan kepada kafir”. Dengan tandu, Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal
11 Desember 1906, Pemerintah Belanda mengasingkan Cut Nyak Dien dan
kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9 November 1908 ia meninggal.
8. Cut
Meutia
Memegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai,
tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya
merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut panjang.
Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang
melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya,
Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh,
Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara
laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan
pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan
Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona.
Banyak pria yang hendak meminangnya sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku
Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890 dalam sebuah pernikahan yang agung
sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya yang lembut dan tutur bahasanya yang
santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah gunung berapi yang bergelegak
memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana juga ayahnya dan
saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia sebetulnya tidak
menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang penderitaan rakyatnya.
Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya
sendiri. Pandangan dan kepribadiannya seperti itu sangat bertentangan dengan
suaminya yang senang kedudukan, kemewahan serta mengagungkan martabat tinggi.
Untuk memenuhi kesenangannya, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia
memangku uleebalang atas pilihan Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan
Aceh, Muhammad Daud Syah sudah mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku
Syamsarif sebagai uleebalang. Jadi, ketika itu, di Keureutoe terdapat dua
uleebalang. Kakak beradik itu bagai langit dan bumi. Sang kakak berkiblat
kepada Belanda, sedangkan sang adik berpihak kepada kemerdekaan.
Antara Cut Meutia dengan Teuku Syamsarif seperti campuran minyak dengan
air. Cut Meutia sudah berusaha membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah,
tetapi tidak pernah ditanggapi. Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia
meminta diceraikan saja oleh suaminya. Akhirnya Cut Meutia kembali kepada
orangtuanya. Karena Teuku Syamsarif tidak menjemputnya dan juga memberikan
nafkah, maka mereka dianggap sudah bercerai. Bercerai dari suaminya, gelora
jiwanya terlepas bebas sudah. Ia pun ikut bergerilya bersama ayah dan
saudara-saudaranya. Namun, Teuku Ben Daud tidak mengizinkannya karena yang ia
seorang janda. Kemudian ia dinikahkan dengan Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong)
dan barulah ia benar-benar ikut angkat senjata. Seterusnya ia mendampingi
suaminya berperang. Tanggal 5 Maret 1905, Teuku Chik Tunong tertangkap kemudian
dihukum tembak. Sebelum dijatuhi hukuman, ia meminta bertemu dulu dengan Cut
Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi, 5 tahun. Ia berpesan agar melanjutkan
perlawanan terhadap Belanda, anaknya dididik agar terus mempunyai kebencian
terhadap Belanda. Cut Muhammad menyarankan menikah Cut Meutia dengan Pang
Naggore.
Pang Nanggroe adalah seorang panglima perang cerdik dan licin. Setelah
melahirkan anaknya dari Chik Tunong, akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang
Nanggroe. Bersama suaminya yang ketiga ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan
sampai akhirnya ditemukan Belanda. Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku
Raja Sabi.
9.
Pocut Baren
Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia putri seorang uleebalang Tungkop bernama
Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh.
Suaminya juga seorang uleebalang yang memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren
merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup waktu lama dalam
pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia disegani
oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun
1903 hingga tahun 1910.
Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien
ketika masih aktif dalam perjuangan. Ia telah mempersiapkan dirinya – bila
kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat nantinya.
Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur.
Semangatnya malah semakin menggebu.
Suatu penyerangan besar-besar dibawah pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan
benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut Baren tertembak dan dibawa ke
Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka tembaknya tidak kunjung membaik.
Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk dilakukan pengobatan lebih
intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya diamputasi. Selama dalam tawanan,
Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai penghargaan atas dirinya, Belanda
menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya – yang didatangkan khusus dari
Belanda. Ia wafat tahun 1933. Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.
10.
Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Pocut Meurah
menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh.
Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih menantang kehadiran Belanda.
Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak
laki-laki. Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari
Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal
Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan
Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda
adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang
diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh
lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul
Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus
berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin,
kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran
Intan bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia
masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan. Valtman,
pemimpin pasukan Belanda yang berpengalaman di Aceh dan baik hati, menyebutnya
sebagai heldhaftig (gagah berani). “Kalau begitu, biarlah aku mati,” ucap Pocut
Meuran Intan. Lalu ia mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Ia
mengalami luka parah. Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman
mengira ia tewas lalu meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal
ditangan bangsanya sendiri. Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia
diselamatkan. Veltman kemudian mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya.
Namun, Pocut Meuran menolak dokter Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi
tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Kemudian, bersama putranya, Pocut Meurah
Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara. Sementara putranya yang lain, Tuanku
Nurdin tetap melanjutkan perjuangan sampai kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut
Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan
ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.
Comments
Post a Comment