Saat
kita berada di ruang tunggu bandara atau tempat umum lainnya coba perhatikan
orang-orang di sekeliling kita, apa yang mereka lakukan? Iya, mereka sibuk
dengan gadgetnya masing-masing. Mungkin jawaban kita akan sama, karena
realitanya banyak yang seperti itu. Aksi menunduk massal ini sudah menjadi tren
beberapa tahun terakhir, mereka pun ada yang lupa dengan kondisi sosial di
sekitar mereka karena terlalu sibuk dengan gadgetnya.
Apa
kabar literasi Indonesia hari ini? Jika masyarakatnya masih enggan menumbuhkan
kebiasaan membaca dan menulisnya. Bung Hatta pernah mengatakan bahwa “aku rela dipenjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas.” Kutipan ini menjadikan buku itu adalah
kebebasan yang tanpa harus dicari-cari. Buku itu jendela, dan dengan membaca
kita membuka cakrawala dunia. Di sana terkumpul seluruh informasi-informasi
yang membuka pikiran kita.
Tingkat
minat baca di Indonesia hari ini sangatlah rendah, berdasarkan survei yang
dilakukan oleh UNESCO tahun 2012 minat baca di 61 negara, selamat! Indonesia menduduki peringkat kedua terendah yaitu
rangking 60. Indonesia hanya memiliki 0,001 persen yang minat untuk baca,
artinya dari 1000 orang hanya 1 orang saja yang minat membaca buku. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Programme for
International Student Assessment (PISA) tahun 2012, Indonesia menduduki
peringkat 60 dari 65 pada kategori membaca. Tidak jauh berbeda pula dengan
budaya literasi di Aceh, masih sangat kurang. Banyak sekali fakta yang
menunjukkan bahwa betapa tidak akrabnya kita dengan buku.
Kondisi
bangsa kita pada hari ini adalah lebih suka dibacakan dibanding membaca, sehingga
menjadi pembaca yang pasif dengan mendapatkan informasi dari media elektronik
yang hanya mengunyah mentah segala persepsi yang dikemukakan. Anda adalah apa
yang anda baca. You are what you read.
Sering sekali kita mendengarkan kalimat ini yang dikaitkan dengan membaca,
bacaan itu sangat mempengaruhi pola pikir seseorang, yaitu dengan cara dia
bersudut pandang dan cara berbahasa.
Padahal
dengan membaca buku dapat menjadikan seseorang itu merasa percaya diri dan
dengan membaca, salah satu langkah untuk lebih maju membuka cakrawala
pengetahuan dan tidak tertindas oleh kejahiliyahan. Dalam agama saja membaca
menjadi poin terpenting, seperti kita membaca Al-Qur’an ada banyak ilmu yang
tersimpan. Kembali kita bertanya pada diri sendiri, maukah kita menjemput ilmu
tersebut atau siap-siap dikutuki kebodohan? begitu pentingnya literasi dalam
kehidupan ini.
Iqra’!
Bacalah! Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, wahyu dan
sekaligus menjadi pedoman hidup manusia yaitu Al-Qur’an. Islam adalah agama
literasi, yang menjunjung tinggi budaya membaca, menulis, bertukar ide dan
pikiran sesamanya.
Terlebih
apabila kita juga mampu menuangkan hasil bacaan dari pemahaman kita ke dalam
bentuk sebuah tulisan. Budaya lokal kita adalah budaya lisan, bukan budaya
tulis. Sehingga penyebabnya adalah untuk menyimpan informasi, gagasan dan ilmu
pengetahuan hanya di dalam ingatan saja. Harusnya isi dari ingatan tersebut
yang ditransmisikan ke pihak-pihak lain yang belum mendapatkannya yaitu dengan
menulis.
Berdasarkan
survei yang dipaparkan di atas, pemerintah tidak lengah dan bertindak guna
membangun semangat berliterasi di negeri pertiwi ini. Berbagai macam cara
dilakukan salah satunya dengan membangun perpustakaan disetiap desa,
menggerakkan taman baca masyarakat, memilih duta baca disetap daerah dan mewajibkan
membaca 15 menit sebelum proses pembelajaran berlangsung. Semua ini adalah
salah satu bentuk usaha dari pemerintah dalam meningkatkan literasi di
Indonesia. Adapun di negeri ini sudah cukup banyak gerakan-gerakan literasi,
komunitas literasi dan taman-taman baca. Hanya saja belum menyeluruh disetiap
daerah.
Di
Aceh, salah satu provinsi yang berada bagian barat Indonesia kondisi literasi
di kota Serambi Mekkah ini sangatlah kurang, bahkan budaya gadget lebih
mendominasi dari budaya membaca buku. Disamping itu, Aceh adalah sebuah
provinsi yang menjadi daya tarik sendiri dari daerah-daerah lain terkait
sejarahnya, keserambi Mekkahannya, dan panorama alamnya. Generasi millenial pun
mereka sudah tidak mengetahui lagi sejarah Aceh, mereka sudah termakan oleh lupa.
Inilah pekerjaan rumah saat ini bahwa sejarah bukan untuk dilupakan.
Komunitas
literasi atau taman baca di Aceh mungkin bisa dihitung jari jumlahnya dan
itupun hanya ada di kota besar atau di kota provinsi. Kabupaten Aceh Barat
yaitu Meulaboh daerah paling barat dari provinsi Aceh, kondisi literasi di bumi
Teuku Umar ini pun cukup rendah. Perpustakaan kota pun masih terlihat sepi dari
pengunjungnya. Akan jarang terlihat bahkan pun tidak ada disetiap sudut kota
orang yang membaca, mungkin koran pun hanya segelintir orang saja yang membaca.
Tingkat pendidikan di Aceh dan kualitas sumber daya manusianya masih jauh dari
ideal.
Berangkat
dari keadaan kota yang begitu amat disayangkan dan keresahan atas minimnya
kesadaran masyarakat dalam hal literasi, hal tersebut yang mendorong saya dan
teman saya mendirikan Rumoh Literasi. Komunitas yang bertujuan menjadi wadah
berkumpulnya orang-orang dan para pegiat literasi dalam melakukan pengabdian
untuk menghidupkan budaya literasi secara sistematis dan terarah.
Komunitas
Rumoh Literasi ini berdiri karena kegelisahan tehadap Aceh Barat masih
ketinggalan jauh dalam membudayakan literasi. Harapannya adalah Rumoh Literasi
berusaha menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.
Rumoh
dalam bahasa Aceh bermakna rumah. Rumoh literasi tidak lain dicita-citakan
dapat menjadi rumah bagi para pecinta dan pegiat literasi, begitulah visi dari
komunitas ini. Rumah bagi para pecinta buku, penulis, pegiat diskusi dan mereka
yang gemar beraksi. Oleh karena itu, Rumoh Literasi mengusung jargon “baca,
tulis, diskusi, aksi” sebagaimana kegiatan literasi dapat dimaknai. Rumoh
literasi adalah markas bagi aktivis-aktivis literasi.
Perlahan-lahan
dengan adanya komunitas Rumoh Literasi ini dapat meningkatkan budaya literasi
di Aceh dan memperkenalkan literasi kepada masyarakat. Inilah dakwah kami untuk
tanah kelahiran di Aceh Barat kota lahirnya pahlawan Indonesia, Teuku Umar.
Setidaknya
ada warisan yang bisa ditinggalkan. Dari membaca kita memperkaya kosa kata,
dari menulis kita mengasah kata-kata. Kalaupun mati masih meninggalkan nama.
Comments
Post a Comment