Kota yang terletak di baratnya
wilayah Aceh, kota yang terkenal dengan bencana tsunami pada 2004 yang lalu
melantakkan sebagian besar jiwa dan infrastruktur kota. Kota sebagai pusatnya
tsunami yang menghanyutkan ribuan jiwa. Sekarang kota ini hadir sebagai kota
tengah membangun jati dirinya kembali sebagai sebuah kota yang menyimpan
sejarah panjang yang menjadikan salah satu identitas keberagaman yang ada di
Aceh. Kota yang dikenal dengan kota tasawuf ini ingin menjadi kota yang penuh
mistik dan karakteristik.
Meulaboh adalah kota yang hampir
setengah wilayahnya dikelilingi oleh laut, sehingga kota ini adalah kota yang
banyak memakan korban saat tsunami tempo dulu. Sehingga menghadirkan ribuan
tangis anak manusia yang menggetarkan seluruh jiwa ummat diseluruh pelosok.
Meulaboh adalah kota yang unik
dari berbagai cerita dimulai asal usul adanya Semenanjung Barat Aceh. Nama Meulaboh
tak akan dipisahkan dari 2 perang besar di jaman Belanda yang terjadi pada 2
daerah berbasis islam terbesar di Pulau Andalas (sumatera) yaitu Aceh dan
Minangkabau. Jika di daratan Minang dikenal dengan adanya perang padri yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Perang ini melibatkan dua pihak bersaudara
sesama muslim antara kaum paderi yang membawa ajaran pembaruan islam beraliran
Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka
adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan islam yang
dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu
itu sudah menganut ajaran islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Inti cerita perang ini adalah
tentang makin kuatnya gerakan paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat
yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh
kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku
di Luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. Luhak-luhak
tersebut sekarang menjadi kabupaten.
Masjid Agung kota Meulaboh-Aceh Barat. Jalan Imam Bonjol, Seuneubok, Johan Pahlawan.
Salah seorang datuk yang
merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu adalah Datuk
Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari
Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka
bersepakat menghindari pertumpahan darah mengungsi ke arah utara. Dengan menaiki
beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah utara
(ke arah Aceh). Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama
Pasir Karam.
Dari buku Atjeh dan Nusantara, diungkapkan oleh
HM Zainuddin bahwa negeri ini dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil
(1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintahkan oleh Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.
Di negeri itu dibuka perkebunan
merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri
Singkil yang banyak disinggahi pada masa pemerintahannya Sultan Djamalul Alam,
Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada.
Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh
Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari
negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836).
Pendatang dari Minangkabau itu
kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada
yang menjadi pemimpin diantaranya yaitu Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk
Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh Sumpu. Mereka menebas
hutan mendirikan permukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti
membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam
Song Song Buluh di Ujong Kalak yang menikah dengan anak salah satu seseorang
yang berpengaruh di sana.
Sama dengan masyarakat setempat,
ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang,
sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat
untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan
Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap Sultan
masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai ebagai buah tangan. Mereka meminta
kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu
dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang
Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara
kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun
mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan
untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan
Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu
wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu
dikabulkan oleh Sultan, dikirimlah ke Teuku Chik Purba Lela. Wazir Sultan Aceh
untuk pemerintah dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk itu merasa sangat
senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka
pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan
yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan
itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara
yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang
negeri.
Comments
Post a Comment