Meulaboh, Kota
yang pernah terkenal karena bencana tsunami 2004 yang meluluh lantakkan
sebagian besar kehidupan sosial dan infrastruktur kotanya. Kini Meulaboh hadir
sebagai kota yang tengah membangun, membangun kembali jati dirinya sebagai
sebuah kota yang mempunyai sejarah panjang sebagai salah satu identitas
keberagaman yang ada di Aceh. Meulaboh juga kembali hadir sebagai sebuah kota
yang ingin merubah pandangan dari kota penuh mistik menjadi kota penuh karakteristik..
dan pastinya Meulaboh juga hadir dalam deretan tulisan saya mengenai Aceh.
Setelah mendapat
respon yang positif dari tulisan Banda Aceh (Menyusuri Sejarah
kota Banda Aceh), Lhokseumawe (Lhokseumawe,
Sejarah dan Kenangan yang Terlupakan), Lamno (Pesona
Lamno, Pesona Wanita Bermata Biru) dan Sabang (Sabang,
dari Nol Kilometer, hingga Jutaan Keindahan). Kini penelusuran sejarah akan
menjejakkan kaki dan penanya ke sebuah kota tempat lahirnya Sang Pahlawan,
Teuku Umar.
Setelah membuka 3 buah buku tentang sejarah Aceh yaitu Aceh Sepanjang Abad,
Atjeh dan Nusantara serta buku kopian dari perpustakaan Ali Hasyimi (judulnya
sudah tidak jelas lagi), tulisan pun dimulai. Dimulai dengan sebuah judul yang unik
dibandingkan dengan tulisan terdahulu. Unik karena mengandung unsur kata dari
daerah Minangkabau. Unik karena ini cerita tentang Meulaboh, bukan daerah di
Semenanjung Mentawai, tapi di Semenanjung Barat Aceh.
Nama Meulaboh tak
akan dipisahkan dari 2 perang besar di Jaman Belanda yang terjadi pada 2 daerah
berbasis Islam terbesar di Pulau Andalas (Sumatera) yaitu Aceh dan Minangkabau.
Jika di daratan Minang dikenal adanya perang padri yang dipimpin Tuanku Imam
Bonjol. Perang ini melibatkan 2 pihak bersaudara sesama muslim antara kaum
paderi yang membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga
orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji
Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga
orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah
menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Inti cerita perang
ini adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap
kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya
berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi
kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak
Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).
Salah seorang
datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu,
adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk
Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh
Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara.
Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar
ke arah Utara (ke arah Aceh). Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu
itu bernama Pasir Karam.
Kedatangan bangsa
Minangkabau ke daratan Aceh, yang dulunya bernama Pasir Karam ini diperkirakan
awal mula munculnya kata Meulaboh, dimana para pendatang itu kemudian
mengucapkan kata: “… di sikolah kito belaboh…” dan pengucapan kata itu hari
demi hari ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat yang pada masa dulu
menjadikan sebuah cirri khas
daerah menjadi nama daerah tersebut.
Dari buku Atjeh
dan Nusantara, diungkapkan oleh HM Zainuddin, bahwa negeri ini dibangun pada
masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.
Di negeri itu
dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat
menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil
muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan
Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan
pembukaan kebun lada. Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang
dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang
Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836)
seperti cerita di atas.
Pendatang dari
Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara
mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari
Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari
Sumpu. Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah,
Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang
dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak
salah seorang yang berpengaruh di sana.
Sama dengan
masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk
membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun
kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal
dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap
Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka
meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan
itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang
Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara
kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi
lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan,
karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah
(1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima
upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama
Teuku Chik Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima
upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang
ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali
meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus
masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga
dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang
menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta
agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum
Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Cut Din, seorang
ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di
Meulaboh.
Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim
Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau
yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di
sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan
oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada
Belanda.
Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada
yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli
rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang
megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang
diketuai oleh Uleebalang Keudruen Chik Ujong Kala.
Disebut Kaway XVI karena federasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang,
yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu,
Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen,
Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.
Salah seorang dari 3 datuk yang berkuasa di Meulaboh, adalah Machdum Sakti,
yang merupakan Kakek dari Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Datuk Makdum Sakti
mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Achmad Mahmud.
Teuku Achmad Mahmud yang menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani merupakan
bapak Teuku Umar. Dan Teuku Nanta Setia (penerus Uleebalang) adalah Ayahanda
dari Cut Nyak Dhien, jadi Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar itu adalah Sepupu.
Pernikahan antar sepupu di Aceh pada masih sangat lazim, mengingat masih
kuatnya paham Pernikahan Sekufu (makanya penulis gak nikah-nikah, haha)
Jadi Meulaboh menjadi Saksi bisu, 2 perang yang berkecamuk di masa dahulu,
yaitu perang Paderi di Minangkabau antara Kaum kerajaan dan kaum paderi serta
perang Aceh yang salah satu daerahnya dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak
Dhien melawan tentara Belanda di Pantai Barat Aceh.
Kini di Meulaboh, dibangun jalan dari Banda Aceh sepanjang jarak Banda Aceh
Meulaboh, diharapkan panjangnya jalan itu, menjadikan panjang pula cita-cita
masyarakat Kawasan Barat Aceh untuk kembali bangkit dan mulai membangun untuk
kemakmuran Aceh dan demi Kemakmuran Muslim Seluruh Dunia..
Comments
Post a Comment