Nona... Sedang apa kau di sudut ruangan itu ? Memikirkan dan merindukan si Tuan-mu? Nona... Sudah larut begini, mengapa kau tetap egois dengan membolak-balikkan layar di handphonemu itu? Mencari tau aktivitas apa yang dilakukan Tuan-mu? Mengapa kau tak tanya langsung padanya? Nona... Mengapa harus menunggu? Jika Tuan-mu tak memikirkanmu bagaimana? Jika Tuan-mu bahkan bisa tertawa riang di luar sana, sedangkan dirimu berteduh di sudut kamarmu itu. Apa kamu tidak ingin untuk melupakannya? Nona... Kau terlalu sering tidur hingga larut malam. Itu pun yang kau pikirkan hanya Tuan-mu. Bagiku rasanya kau terlalu egois pada dirimu, tubuhmu ingin istirahat tapi hatimu selalu mengusik akan dirinya. Aku sering melihatmu di sudut manapun jika kau sedang menyendiri, kadang kau meneteskan air matamu itu. Bahkan aku sempat curiga, sesuatu hal buruk yang terjadi padamu. Ketika kau pergi aku melihat buku harian yang sering kau bawa untuk kau tuliskan itu. Di sana
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” (Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara)